Minggu, 25 November 2012

Festival 10 Muharram

Minggu (25/11) anak-anak kami mengikuti karnaval 10 Muharram yang diadakan oleh yayasan Nurul Hayat Semarang. Karnaval diikuti oleh panti asuhan sekota Semarang. Start dimulai dari RRI dan finish sampai gedung rimba graha jalan Pahlawan.
Dalam acara di rimba graha, dihadiri oleh ustadz Ahmad Al Habsyi dari Jakarta yang memberi ceramah tentang pentingnya bertasbih. dimana sebelumnya ada penampilan Rebana, pencak silat dan da'i cilik Agil. Ada juga penyerahan bantuan dari Nurul Hayat dan Dinas Sosial.

Pertemuan Pengurus November 2012 : "Kalian harus jadi yang terbaik !!"

Tiap bulan secara rutin kami ada pertemuan pengurus dengan anak-anak asuh kami, yang bertujuan untuk sarana komunikasi dan silaturrahmi antara pengurus dan anak-anak. Untuk bulan November 2012 dilaksanakan hari Sabtu(24/11) kemarin sore di asrama panti RIYAADLUL JANNAH. Sebagaimana biasa acara dipimpin oleh anak-anak mulai dari pembawa acara, tilawah Qur'an dan lainnya. dilanjutkan dengan sarasehan dari ketua pengurus panti Ibu Trusti Toto, dimana pada kesempatan tersebut Ibu memberi motivasi kepada anak-anak dimana anak-anak harus menjadi yang terbaik. kalau yang lain belajar 2 jam sehari, kita harus lebih dari itu. Supaya anak-anak bisa meraih cita-citanya dengan sukses.
Acara diakhiri dengan buka bersama, karena pada hari itu kebetulan sedang puasa sunah Asyura.

Kamis, 15 November 2012

Do'a Bersama di Rumah Dinas Plt Walikota Semarang

Rabu (14/11) BAZ (Badan Amil Zakat) Kota Semarang bersama Plt Walikota Semarang Bapak Hendar Prihadi mengadakan do'a bersama anak-anak yatim di rumah dinas beliau di daerah Manyaran Semarang pukul 15.00 WIB. Dalam acara tersebut diundang beberapa yayasan panti asuhan dimana tiap panti 10 anak. termasuk Panti Riyaadlul. Acara terdiri dari Tausyiah, do'a dan penyerahan bantuan sosial kepada korban longsor kelurahan Lempongsari yang diserahkan oleh Ibu Plt Walikota Semarang.

Selasa, 13 November 2012

Keutamaan dan Amalan Muharram

1. Termasuk Empat Bulan Haram (Suci)
Allah berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus..” (QS. At-Taubah: 36)

Yang dimaksud empat bulan haram adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab. Pada bulan-bulan ini, masyarakat Arab dilarang berperang karena disucikannya keempat bulan tersebut. Oleh karena itu, ia juga dinamakan Syahrullah Asham شهر الله الأصم, yang artinya Bulan Allah yang Sunyi karena larangan berperang itu.
Dari Abu Bakrah radhiallahu‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
2. Dinamakan Syahrullah atau Bulan Allah
Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam An Nawawi menyebutkan bahwa, “Hadits ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunnah.” Sementara Imam As Suyuthi menjelaskan bahwa  berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dengan nama Shafar Awwal. Kemudian ketika Islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dengan Al Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah).
3. Bulan Kemenangan Musa atas Firaun
Dari Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma, beliau menceritakan,
لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا ، يَعْنِى عَاشُورَاءَ ، فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، وَهْوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى ، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ . فَقَالَ « أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ » . فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. (HR. Al Bukhari)
4. Disunnahkan Puasa Asyura
Pada hari Asyura tersebut, tanggal 10 Muharram, disunnahkan untuk melaksanakan puasa.
Dari Humaid bin Abdir Rahman, ia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘Anhu berkata: Wahai penduduk Madinah, di mana ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini hari Asyura, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewajibkan shaum kepada kalian di hari itu, sedangkan saya shaum, maka siapa yang mau shaum hendaklah ia shaum dan siapa yang mau berbuka hendaklah ia berbuka.” (HR Bukhari 2003)
Adapun keutamaan shaum tersebut sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dari Abu Qatadah, bahwa shaum tersebut bisa menghapus dosa-dosa kita selama setahun yang telah lalu (HR Muslim 2/819)
Imam An Nawawi ketika menjelaskan hadits di atas beliau berkata: “Yang dimaksud dengan kaffarat (penebus) dosa adalah dosa-dosa kecil, akan tetapi jika orang tersebut tidak memiliki dosa-dosa kecil diharapkan dengan shaum tersebut dosa-dosa besarnya diringankan, dan jika ia pun tidak memiliki dosa-dosa besar, Allah akan mengangkat derajat orang tersebut di sisi-Nya.”
5. Disunnahkan Puasa Tasua untuk Berbeda dengan Yahudi
Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa tanggal 9 Muharram untuk membedakan diri dengan orang Yahudi yang hanya melaksanakan puasa tanggal 10 Muharram.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shaum Assyura dan memerintah para sahabat untuk melaksanakannnya, mereka berkata, “Wahai Rasulullah hari tersebut (assyura) adalah hari yang diagung-agungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Insya Allah jika sampai tahun yang akan datang aku akan shaum pada hari kesembilannya”. Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal sebelum sampai tahun berikutnya” (HR Muslim 1134)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shaumlah kalian pada hari assyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Shaumlah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (HR Ath-Thahawy dan Baihaqy serta Ibnu Huzaimah 2095)
6.Puasa Sunnah tanggal 11 Muharram

Sebagian ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa Asyura’.
صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما
“Puasalah hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad, Al Bazzar).
Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadis ini juga dikuatkan hadis lain, yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra dengan lafadz:
صوموا قبله يوماً وبعده يوماً
“Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”
Menurut Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, hadits ini dha’if. Sementara Imam Ahmad mengatakan, “Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10.”
7. Meluaskan Belanja pada Hari Asyura
Dari hadits Abi Said Al Khudhri Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Siapa yang meluaskan belanja kepada keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan meluaskan atasnya belanja selama setahun.”
Oleh sebagian ulama hadits, hadits ini dilemahkan, namun sebagian lainnya mengatakan hadits ini shahih, lalu sebagian lainnya mengatakan hasan. Menurut Imam An Nawawi hal ini adalah amal yang dasar hukumnya lemah.
Yang menshahihkan di antaranya adalah Zainuddin Al-Iraqi dan Ibnu Nashiruddin. As Suyuthi dan Al-Hafidz Ibnu Hajarmengatakan bahwa karena begitu banyaknya jalur periwayatan hadits ini, maka derajat hadits ini menjadi hasan bahkan menjadi shahih.
Sehingga Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya Al Ikhtiyarat termasuk yang menganjurkan perbuatan ini di hari Asyura.
8. Bersedekah pada Hari Asyura
Rasulullah bersabda, “Siapa yang puasa hari Asyura, dia seperti puasa setahun. Dan siapa yang bersedekah pada hari itu, dia seperti bersedekah selama setahun.”
Pada hari itu juga disunnahkan untuk bersedekah, menurut kalangan mazhab Malik. Sedangkan menurut mazhab lainnya, tidak ada landasan dalil yang secara khusus menyebutkan hal itu dan kuat derajat haditsnya. Sebabnya adalah mereka mendhaifkan hadits tersebut di atas.
Sedangkan bersedekah dengan dasar keumuman keutamaan bulan Muharram dan keumuman sunnah shadaqah, maka hukumnya mubah.

(fimadani.com)

Sabtu, 03 November 2012

Kegiatan Idul Qurban

Sebagaimana biasa setiap Hari Raya Qurban Masjid Ali Usman (Masjid di Panti Asuhan RIYAADLUL JANNAH) mengadakan Shalat Ied dan penyembelihan hewan Qurban. Dimana shalat dipimpin oleh Bapak Muhadi dilanjutkan Khutbah yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Khafidz. Suasana kebersamaan sangat terlihat setelah selesai shalat dimana antar jamaah saling berjabat tangan dilanjutkan makan bersama yang di buat oleh warga Jaten I.
Pada tahun ini Masjid Ali Usman menerima hewan qurban 1 ekor sapi dan 10 ekor kambing. Dan semua kegiatan mulai penyembelihan, kelet, pembagian daging, dll dilakukan bersama-sama dengan jamaah. tak ketinggalan juga anak-anak panti begitu antusias dalam kegiatan tersebut. dan diakhiri dengan makan bersama.
Malam harinya anak-anak kami mengadakan nyate bareng daging qurban. Mereka begitu semangat meyalakan, mengipasi, membuat bumbu dan lain-lain. Kemudian sate buatan mereka di makan secara bersama-sama.

Tiga Tingkatan Orang Islam

(Oleh: Ustadz Ashim Bin Musthafa, http://majalahassunnah.com)
 
(Qs. Fâthir/35:32)
Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
yaitu Al Kitab (Al Quran) itulah yang benar,
dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui
lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.

(Qs. Fâthir/35:31)
 
AL-QUR‘AN MERUPAKAN KEBENARAN DARI ALLAH TA'ALA
Allâh Ta'ala mengabarkan bahwa Al-Qur‘ân yang diwahyukan kepada Rasul-Nya adalah kebenaran. Muatan kebenaran yang terkandung di dalam Al-Qur‘ân memberikan pengertian bahwa seluruh perkara dan urusan yang telah tertera di dalamnya, baik dalam masalah ilahiyyat (aqidah tentang Allâh Ta'ala), perkara-perkara ghaib, maupun perkara-perkara lainnya adalah persis dengan kenyataan yang sebenarnya.
Al-Qur‘ân membenarkan kitab-kitab dan para rasul sebelumnya. Para rasul sebelum Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam juga telah mengabarkan akan datangnya Al-Qur‘ân. Oleh sebab itu, tidak mungkin seseorang beriman kepada kitab-kitab yang dibawa oleh para rasul (sebelum Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam) tersebut, akan tetapi mengingkari Al-Qur‘ân. Pasalnya, pengingkaran orang tersebut kepada Al-Qur‘ân bertentangan dengan keimanannya kepada kitab-kitab sebelumnya (karena berita tentang Al-Qur‘ân telah termuat di dalam kitab-kitab tersebut).
Ditambah lagi, keterangan-keterangan dalam kitab-kitab sebelumnya tersebut bersesuaian dengan apa yang tertera di dalam Al-Qur‘ân. Misalnya, Allâh Ta'ala memberi kepada masing-masing umat sesuatu yang sesuai dengan kondisinya.
Dalam konteks ini, syariat-syariat yang berlaku pada zaman dahulu tidak relevan kecuali untuk masa dan zaman mereka. Oleh karena itu, Allâh Ta'ala senantiasa mengutus para rasul, sampai akhirnya ditutup oleh Rasûlullâh Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau datang dengan aturan syariat yang relevan untuk setiap tempat dan masa. Demikian ringkasan keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullâh tentang ayat ke 31 dari surat Fâthir.[1]

TIGA GOLONGAN KAUM MUSLIMIN
Allâh Ta'ala mengabarkan betapa agung kemurahan dan kenikmatan-Nya yang telah dicurahkan kepada umat Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Pilihan Allâh Ta'ala kepada mereka, lantaran mereka umat yang sempurna dengan akalnya, memiliki pemikiran terbaik, hati yang lunak, dan jiwa yang bersih.[2]
Secara khusus, Allâh Ta'ala mewariskan kitab yang berisi kebenaran dan hidayah hakiki (Al-Qur‘ân) kepada mereka. Kitab suci yang juga memuat kandungan al-haq yang ada dalam Injil dan Taurat. Sebab, dua kitab tersebut sudah tidak relevan untuk menjadi hidayah dan pedoman bagi umat manusia, lantaran telah terintervensi oleh campur tangan manusia.[3]
Allâh Ta'ala menggolongkan orang-orang yang menerima Al-Qur‘ân, yaitu kaum muslimin menjadi tiga macam golongan. Golongan pertama disebut zhâlim linafsihi. Golongan kedua disebut muqtashid. Golongan terakhir disebut sâbiqun bil-khairât.

Golongan Pertama : zhâlim linafsihi (zhâlim linafsihi)
Makna zhâlim linafsihi merupakan sebutan bagi orang-orang muslim yang berbuat taqshîr (kurang beramal) dalam sebagian kewajiban, ditambah dengan tindakan beberapa pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan, termasuk dosa-dosa besar.[4] Atau dengan kata lain, orang yang taat kepada Allâh Ta'ala, akan tetapi ia juga berbuat maksiat kepada-Nya. Karakter golongan ini tertuang dalam firman Allâh Ta'ala berikut:[5]
(Qs. at-Taubah/9: 102)
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampur-baurkan perkerjaan yang baik
dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(Qs. at-Taubah/9: 102)

Golongan Kedua: al-muqtashid (al-muqtashid)
Orang-orang yang termasuk dalam istilah ini, ialah mereka yang taat kepada Allâh Ta'ala tanpa melakukan kemaksiatan, namun tidak menjalankan ibadah-ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala. Juga diperuntukkan bagi orang yang telah mengerjakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan saja. Tidak lebih dari itu.[6] Atau dalam pengertian lain, orang-orang yang telah mengerjakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan perbuatan haram, namun diselingi dengan meninggalkan sejumlah amalan sunnah dan melakukan perkara yang makruh.[7]

Golongan Ketiga: sâbiqun bil-khairât (sâbiqun bil-khairât)
Kelompok ini berciri menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allâh Ta'ala dan menjauhi muharramât (larangan-larangan). Selain itu, keistimewaan yang tidak lepas dari mereka adalah kemauan untuk menjalankan amalan-amalan ketaatan yang bukan wajib (sunnat) untuk mendekatkan diri mereka kepada Allâh Ta'ala.[8] Atau mereka adalah orang-orang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban, amalan-amalan sunnah lagi menjauhi dosa-dosa besar dan kecil.[9]
Adalah merupakan sesuatu yang menarik, manakala Imam al-Qurthubi rahimahullâh mengetengahkan sekian banyak pendapat ulama berkaitan dengan sifat-sifat tiga golongan di atas. Sehingga bisa dijadikan sebagai cermin dan bahan muhasabah (introspeksi diri) bagi seorang muslim dalam kehidupan sehari-harinya; apakah ia termasuk dalam golongan pertama (paling rendah), tengah-tengah, atau menempati posisi yang terbaik dalam setiap sikap, perkataan dan tindakan.[10]

JANJI BAIK DARI ALLAH TA'ALA KEPADA TIGA GOLONGAN TERSEBUT
Kemudian Allâh Ta'ala menjelaskan bahwa Dia menjanjikan Jannatun-Na’im terhadap tiga golongan itu, dan Allâh Ta'ala tidak memungkiri janji-Nya.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs. Fâthir/35:33)
(Bagi mereka) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya,
di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas,
dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera.

(Qs. Fâthir/35:33)

Janji Allâh Ta'ala berupa Jannatun-Na’îm kepada semua golongan tersebut, digapai pertama kali – berdasarkan urutan pada ayat – oleh golongan zhâlim linafsih. Hal tersebut menunjukkan bahwa ayat ini termasuk arjâ âyâtil-Qur‘ân. Yaitu ayat Al-Qur‘ân yang sangat membekaskan sikap optimisme yang sangat kuat pada umat. Tidak ada satu pun seorang muslim yang keluar dari tiga klasifikasi di atas. Sehingga ayat ini dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi bahwa pelaku dosa besar tidak kekal abadi di neraka. Pasalnya, golongan orang kafir dan balasan bagi mereka, secara khusus telah dibicarakan pada ayat-ayat setelahnya (surat Fâthir/35 ayat 36-37).
Syaikh ‘Abdul-Muhsin al-Abbâd hafizhahullah berkata tentang ayat di atas: “Allâh Ta'ala mengabarkan tentang besarnya kemurahan dan kenikmatan dengan memilih siapa saja yang Dia kehendaki untuk masuk Islam dengan mencakup tiga golongan secara keseluruhan. Setiap orang yang telah memperoleh hidayah Islam dari Allâh Ta'ala, maka tempat kembalinya adalah jannah, kendati golongan pertama akan mengalami siksa atas perbuatan kezhaliman yang dilakukan terhadap dirinya sendiri”.[11]
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Ahlul Kitab. Mereka hanya terbagi menjadi dua kelompok, yakni golongan yang muqtashid dalam beramal, dan golongan kedua yang jumlahnya lebih dominan adalah orang-orang yang amalannya buruk.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs. al-Mâ‘idah/5:66)
… Di antara mereka ada golongan yang pertengahan.
Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.

(Qs. al-Mâ‘idah/5:66)

MENGAPA ZHÂLIMUN LINAFSIHI DIDAHULUKAN PENYEBUTANNYA DALAM AYAT?
Mengapa golongan zhâlim linafsihi dikedepankan dalam memperoleh janji Jannatun-Na’iim dibandingkan dua golongan lainnya (al-muqatshid dan sâbiqun bil-khairât), padahal merupakan tingkatan manusia yang terendah dari tiga golongan yang ada? Para ulama telah mencoba menganalisa penyebabnya. Sebagian ulama berpendapat, supaya golongan pertama itu tidak mengalami keputus-asaan dari rahmat Allâh Ta'ala, dan golongan sâbiqun bilkhairat tidak silau dan terperdaya dengan amalan sendiri. Sebagian ulama lain menyatakan, alasan mendahulukan golongan zhâlimun linafsihi lantaran mayoritas penghuni surga berasal dari golongan itu. Sebab, orang yang tidak pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat jumlahnya sedikit. Ini berdasarkan firman Allâh Ta'ala :
(Qs. Shâd/38:24)
… Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih;
dan amat sedikitlah mereka ini…

(Qs. Shâd/38:24)
Secara lebih luas, Imam al-Qurthubi rahimahullâh telah memaparkan pendapat-pendapat ulama yang lain dalam kitab tafsirnya.[12]

Ceramah Dari Konsultan Bidang Kesehatan Ibu dr. Hj. Nahwa Arkhaesi, M,Si, Med, Sp.A Di LKSA Riyaadlul Jannah

Ahad, 10 Desember 2023 pengurus dan pengasuh LKSA Riyaadlul Jannah mengadakan pertemuan bulanan yang sudah lama berhenti. Kegiatan tersebu...